18/04/2024 23:18
EKONOMI & BISNIS

Babak Belur di Musim Panen Sawit

Fokusmedan.com : Kebijakan larangan ekspor turunan minyak sawit mentah oleh Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu berdampak besar bagi petani sawit di Sumatera Selatan (Sumsel). Selain rendahnya harga, kini petani terancam tak bisa menjual hasil produksi karena pabrik kelapa sawit (PKS) bakal membatasi pembelian.

Kondisi itu dialami petani sawit swadaya, salah satunya di Kabupaten Musi Banyuasin. Mereka merasa was-was jika PKS benar-benar tidak lagi membeli sawit, dengan harga berapa pun.

Buah sawit yang sudah siap mesti dipanen pada waktunya, karena jika tidak dijual, tanda buah segar (TBS) akan busuk. Sementara jika tidak dipanen akan mengganggu pertumbuhan tanaman sawit itu sendiri.

Sekjen Asosiasi Petani Sawit Perkebunan Inti Rakyat (Aspekpir) Indonesia Bambang Giyanto mengungkapkan, kebijakan larangan ekspor yang berlaku sejak 28 April 2022 tersebut menghancurkan ekonomi petani sebagai komponen paling hulu dari rantai pasok minyak kelapa sawit. Kebijakan ini ibaratnya siapa yang berulah, tetapi siapa yang harus menanggung.

“Bahasa kami, petani tidak tahu siapa yang makan nangka tetapi sekarang tangan kami penuh getahnya. Petani yang pertama kali terdampak akibat larangan eskpor dari presiden,” ungkap Bambang, Senin (16/5).

Menurut Bambang yang juga seorang petani sawit di Musi Banyuasin itu, kebijakan itu menghancurkan hidup petani yang mencari nafkah dari kelapa sawit. Kondisi ini semakin menambah beban petani yang sudah tertekan sejak lama, sejak dua atau tiga tahun lalu.

“Kebijakan ini agak kontrakdiktif, kami mengkhawatirkan citra buruk pemerintah justu di hadapan petani sawit. Kami menyayangkan jika itu terjadi,” ujarnya.

Sebelum Idulfitri lalu, petani cukup menikmati hasil petani karena harga sawit di atas Rp3.000 per kilogram. Belum lama menikmati harga tinggi BTS, petani lagi-lagi dicekik dengan harga murah sejak kebijakan pemerintah keluar.

Per hari ini, harga TBS di tingkat petani Rp1.200 per kg atau turun Rp200 dari pekan lalu. Harga itu tercatat paling rendah selama periode Januari 2022.

Rendahnya harga TBS berbanding terbalik dengan harga sawit internasional yang telah menembus Rp5.000 per kg. Pada masa-masa sebelumnya diakui harga sawit sempat anjlok, tetapi akibat penurunan harga nasional.

“Sebelumnya turun karena mengikuti harga dunia, tapi sekarang anjlok karena kebijakan pemerintah,” ujarnya.

Harga yang murah itu membuat petani hanya mampu mengembalikan modal pokok. Betapa tidak, biaya produksi 1 kg TBS memerlukan biaya Rp1.200-Rp1.300. Beban petani ditambah mahalnya harga pupuk. Lengkap sudah penderitaan petani sawit, harga TBS murah dan pupuk mahal.

“Jelas kami sangat rugi, sekarang saja modal pokok saja tidak mencukupi apalagi untuk makan sehari-hari,” kata dia.

“TBS terancam tidak terjual. Artinya petani sudah jatuh tertimpa tangga, temboknya roboh menindih kami,” sambung Bambang.

PKS Warning Hentikan Pembelian

Bambang menyebut baru-baru ini dirinya diinformasikan beberapa pabrik kelapa sawit (PKS) yang mewarning terjadinya pembatasan pembelian sawit petani, bahkan menghentikan pembelian jika larangan ekspor terus berlanjut. Hal itu semakin membuat petani semakin terjepit dan khawatir tak bisa lagi menjual hasil kebunnya seperti biasa.

“Kalau di daerah kami (Musi Banyuasin) belum ada yang nolak (membeli), tapi beberapa PKS sudah kasih lampu kuning. Pabrik bilang kalau larangan ini terus berlanjut, kemungkinan tangki pada PKS penuh,” terangnya.

Ketakutan juga dialami petani yang memiliki kontrak penjualan dengan PKS. Sekarang tangki timbun PKS udah penuh. Mereka tidak bisa menjual CPO-nya pada industri olahan atau eksportir karena 70 persen sasarannya merupakan pasar ekspor.

Jika tanki-tanki pada PKS sudah penuh, otomatis pembelian sawit petani disetop. Pabrik tentu akan menghabiskan sisa CPO yang belum terjual, jika tidak mereka akan rugi lebih besar.

Di Musi Banyiasin, kapasitas tangki PKS-PKS rata-rata hanya mampu menampung 4-5 ribu ton CPO selama satu bulan. CPO tersebut mestinya segera dikirim ke pembeli sehingga PKS kembali membeli sawit petani.

“Asumsinya sebelum lebaran misal ada sisa 2-3 ton CPO yang belum diangkut pembeli di PKS, artinya kapasitas tanki tersisa 2-3 ton. Yang masalah kalau sisanya belum terjual, otomatis PKS tidak mau lagi membeli, mereka pasti takut juga tidak ada pembeli,” kata dia.

Petani swadaya semakin khawatir PKS membeli dari kebunnya sendiri karena dalam situasi ini mereka memprioritaskan TBS dari kebun sendiri. Lagi-lagi petani akan gigit jari dan terpaksa membiarkan buah sawit tak dipanen dengan ancaman merusak keberlangsungan pohonnya sendiri.

Malaysia Paling Diuntungkan

Bambang berharap pemerintah segera mencabut kebijakan larangan ekspor. Sebab, banyak hal yang dirugikan akibat larangan itu, mulai dari petani, pengusaha, devisa, dan pajak.

Saat ini harga sawit internasional sedang naik-naiknya, di atas Rp5 ribu per kg. Sementara Indonesia merupakan pengekspor terbesar sawit di dunia, disusul Malaysia dan negara tetangga lain.

“Justru Malaysia diuntungkan karena harga sawit mereka menjadi tinggi. Sementara yang dirugikan banyak, salah satunya kami sebagai petani,” terangnya.

Menurut dia, sejauh ini belum ada gejolak serius dari petani sawit atas kebijakan pemerintah dan memilih jalur mediasi dengan pemerintah. Sejumlah asosiasi petani sawit mengirim surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo dengan harapan kebijakan dicabut.

Namun jika kondisi ini dibiarkan dan berlangsung lama, bukan tidak mungkin petani akan berbuat anarkis, membakar PKS pun bisa saja terjadi. Para petani saling mengingatkan sesama temannya untuk bersabar dan terus berdoa agar kondisi membaik.

“Kalau gelojak langsung belum ada, masih sebatas ucapan-ucapan, selentingan saja. Tapi bisa berbahaya kalau kondisinya masih seperti ini,” kata dia.

Gubernur Sumsel Herman Deru berharap kebijakan ini tidak berkepanjangan sampai pasokan minyak dalam negeri bisa terpenuhi. Dia sangat berkeyakinan pemerintah mengambil langkah agar situasi kembali normal.

“Kita ingat larangan ekspor batubara. Penerapannya tidak begitu lama, setelah pasokan batubara dalam negeri terpenuhi, semua kembali seperti biasa,” ujarnya.

Dia menjelaskan, luas areal kelapa sawit di provinsi itu mencapai 1.221.374 hektare dengan dengan produksi CPO mencapai 3.323.670 ton dan 80 persen CPO tersebut diekspor. Dari luasan itu, petani sawit di Sumsel sebanyak 224.649 orang yang terdiri dari petani plasma 119.870 orang dan sebanyak 104.779 orang adalah petani sawit swadaya.

“Mudah-mudahan ada jalan keluarnya agar dapat berpengaruh positif bagi semua pihak,” pungkasnya.