Erupsi Gunung Merapi Ancam Habitat 12 Jenis Mamalia
Fokusmedan.com : Keberadaan 12 jenis mamalia di Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) terancam, akibat gangguan alam di area gunung api aktif di perbatasan Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah itu.
Hal itu mengacu hasil penelitian mahasiswa Program Studi Doktor Ilmu Kehutanan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM) Nurpana Sulaksono.
“Menggunakan puluhan kamera jebakan, diketahui ada 12 jenis mamalia, 10 di antaranya jenis mamalia darat. Yang paling banyak itu adalah monyet ekor panjang, kijang, landak, dan luwak,” kata Nurpana Sulaksono dalam keterangan resmi UGM, Selasa (14/3/2023).
Sebanyak 12 jenis hewan mamalia berukuran besar hingga sedang yang tinggal di area TNGM, di antaranya monyet, kijang, landak, garangan, lutung, babi hutan, trenggiling, kucing hutan, lutung, biul, rase, dan tupai terbang.
Menurut Nurpana, gangguan alam yang mengancam keberadaan satwa liar di area Merapi, berupa bencana erupsi yang terjadi secara periodik.
Selain itu, gangguan dari aktivitas manusia berupa kegiatan perumputan, penambangan, dan aktivitas wisata di wilayah itu.
Dalam disertasinya berjudul “Respon Mamalia Darat Ukuran Sedang-Besar pada Berbagai Tipe Gangguan di Lanskap Taman Nasional Gunung Merapi”, ia menuturkan mamalia dengan ukuran sedang dan besar, seperti monyet dan lutung atau kijang cenderung menghindar dan menjauhi area yang dekat dengan gangguan, baik permukiman maupun penambangan.
“Satwa itu cenderung berada di area tutupan rapat dan menjauh dari area permukiman dan penambangan, serta suka pada lahan yang agak tinggi,” kata dia.
Terkait dengan ketersediaan habitat populasi mamalia di TNGM, menurut Nurpana, habitat paling luas dimiliki oleh kucing hutan yang menempati area seluas 5.000 hektare, baik di dalam maupun luar TNGM.
Berikutnya ada luwak menempati area 4.700 hektare dan kijang pada area 3.000 hektare, baik di luar maupun di dalam kawasan taman nasional itu.
Namun demikian, imbuhnya, kondisi habitat kijang saat ini mengalami fragmentasi akibat erupsi dan aktivitas di permukiman penduduk.
Lokasi habitat tersebut berada di utara dan selatan Gunung Merapi.
“Antara wilayah utara dan selatan terputus yang akan memberikan dampak pada pelestarian area yang seharusnya populasinya bisa terhubung,” ujar dia.
Menurut Nurpana, gangguan paling tinggi terjadi pada habitat yang terdampak akibat gangguan aktivitas penambangan.
Habitat dengan tingkat gangguan tinggi itu cenderung direspons dengan kekayaan jenis dan keragaman jenis mamalia yang rendah.
Pada habitat yang tidak terganggu justru cenderung memiliki kekayaan tinggi namun memiliki tingkat keragaman mamalia paling rendah akibat dominasi beberapa jenis satwa tertentu.
Dari hasil penelitian ini, Nurpana merekomendasikan untuk dilakukan pengukuran kondisi mamalia secara aktif dan berkelanjutan untuk mengetahui dinamika dan perkembangan jumlah populasi dan habitat.
Selain itu, diperlukan pengaturan waktu aktivitas pengambilan rumput oleh masyarakat.
“Pengaturan dilakukan untuk mencegah gangguan tidak melebihi ambang batas toleran yang dapat memberikan dampak langsung dan tidak langsung terhadap satwa liar khususnya mamalia,” kata dia.
Tidak kalah penting, menurut dia, pengamanan kawasan untuk mencegah aksi perburuan, melakukan pengaturan dan penertiban terhadap aktivitas penggalian batu dan pasir untuk mencegah terjadinya fragmentasi habitat.
“Pengambilan material batu dan pasir yang tidak terkendali bisa menyebabkan terputusnya konektivitas antar habitat,” ujar dia. (ram)