19/04/2024 13:35
Uncategorized

Politik Indonesia, Hari ini Teman Besok Jadi Musuh

fokusmedan : Banyak kejadian tidak terduga dalam Pilkada 2020. Terutama dalam koalisi partai. Ada yang semakin kompak hingga koalisi yang tidak terduga. Semua berjalan seolah berbeda dengan kondisi politik nasional saat ini.

Kekompakan semakin muncul paling kentara, antara PDIP dan Gerindra. Dari 270 penyelenggaraan Pilkada 2020, mereka berkoalisi di banyak wilayah yang sering menjadi sorotan.

Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno melihat bahwa suasana politik begitu cair di Tanah Air. Bukan hal tabu lagi melihat beberapa partai berseberangan di nasional, justru di daerah kompak.

Berikut petikan wawancara Adi Prayitno dengan jurnalis merdeka.com Wilfridus Setu Embu pada Selasa, 4 Agustus 2020:

1 dari 2 halaman

Kondisi Pilkada 2020 seperti momen para partai besar melawan partai kecil. Bagaimana Anda melihat kondisi saat ini?

Tidak seperti itu juga. Saya melihatnya koalisinya cair. Ada koalisi partai besar dengan partai kecil, ada juga koalisi partai kecil lawan partai menengah, partai menengah dengan partai besar juga banyak di berbagai tempat.

Contoh di Sumenep, kabupaten saya ada PDIP ada Gerindra ada PKS gabung. Ada juga PPP dia gabung sama PKB dengan partai-partai yang tidak lolos seperti Hanura dan lain-lain. Itu tidak berlaku umum partai-partai besar (koalisi) sama partai besar. Tidak juga. Memang ada di berbagai tempat yang polanya seperti itu. Misalnya di Medan partai besar cenderung ke Bobby. Partai menengah ke petahana Ahyar Nasution.

Kalau mau, bukan partai besar dan partai kecil, tapi sebut partainya. Misalnya ada kecenderungan di Pilkada kali ini Gerindra dan PDIP banyak berkoalisi. Ini mungkin kecocokan sejak merapatnya Gerindra dan Prabowo ke pemerintah. Di pilkada ini juga sangat terlihat bagaimana Demokrat dan Golkar sering kerja sama.

Seperti apa pola koalisi dalam Pilkada 2020 yang diterapkan para partai?

Partai-partai yang lain relatif cair, bisa masuk ke mana saja. Tapi secara umum melihat yang menonjol dari koalisi dalam pilkada, ada Gerindra dan PDIP cukup lengket. Di mana-mana, hampir bisa dipastikan, di Solo, di Medan, di Tangerang Selatan dan di Pilkada-pilkada yang relatif “seksi” kan. Demokrat dan Golkar juga sering bekerja sama. Yang lain-lain tidak terlampau menonjol kan.

Kalau Gerindra-PDIP makin lengket, ada juga Demokrat-Golkar. Dari analisa Anda, apa faktor yang mendorong terjadinya koalisi ‘khusus’ itu?

Ini soal kecocokan komposisi saja. Seringkali calon Gerindra ataupun calon PDIP satu sama lain saling menguntungkan dan padu sehingga cocok. Begitupun dengan calon Golkar dengan calon Demokrat di berbagai tempat saling menguntungkan. Ada yang jadi wakil ada yang calon kepala daerahnya.

Hal-hal seperti itu kemudian membuat kenapa banyak partai relatif menonjol dalam kerja sama. Karena suka tidak suka komposisi pencalonan Pilkada sangat ditentukan oleh pusat. Jadi pusat atur di satu wilayah, misalnya bisa koalisi bersama siapa calon wakil siapa calon Kepala daerah, di tempat lain yang lain juga sama. Ada negosiasi politik yang win-win solution.

Dan partai ini partai menengah yang relatif di berbagai kabupaten/kota di Indonesia punya perwakilan kursi. Beda dengan partai menengah ke bawah itu, di satu wilayah ada kursi di wilayah lain kan sepi. Jadi tidak bisa menunjukkan dengan siapa harus berkoalisi dengan siapa tidak berkoalisi.

Kalau misalnya PDIP, Gerindra, Golkar, Demokrat, ini partai yang relatif semua kursi DPRP terisi. Sehingga bisa bernegosiasi komposisi tentang pencalonan di pilkada ini. Politik ya begitu.

Kan ada juga yang melihat konstelasi saat pilpres. Pilpres sudah selesai. Justru saya melihat ini sebagai fase awal pendekatan parpol-parpol untuk jangka panjang. Jadi kalau dalam pilkada 2020 kerja sama di berbagai tempat ini cocok, ini bisa lanjut ke jenjang lebih tinggi. Tentu jangka panjangnya Pilpres 2024.

Jadi koalisi di pilkada ini seringkali menjadi pintu masuk bersama semua partai untuk membangun chemistry. Semacam pendekatan politik apakah penjajakan ini cocok atau tidak. Kan politik kan bukan soal kuat-kuatan terus. Tapi soal nyaman nggak nyaman berpasangan.

2 dari 2 halaman

Artinya melihat Pilkada 2020 menunjukkan bahwa dalam politik tidak ada lawan abadi?

Intinya politik kita harus dimaknai biasa-biasa saja. Politik itu bukan perang agama bukan perang antarsuku, antarbudaya, bukan. Politik di kita, ya politik biasa saja dan cair. Hari ini teman, besok jadi musuh. Hari ini musuh besok jadi teman. Jadi kalau ada pilkada enggak usah masukin ke hati.

Kembali soal tidak ada lawan abadi dalam politik. Apakah koalisi Gerindra-PDIP, Golkar-Demokrat, bukan hal yang terlampau luar biasa?

Biasa saja. Namanya orang pendekatan. Ini penjajakan awal. Kadang cocok, kadang juga kecewa. Lihat saja nanti setelah Pilkada apakah kemesraan antara parpol ini kembali terjalin. Kan begitu.

Dulu siapa yang bisa meragukan kemesraan Gerindra dan PDIP waktu sama-sama jadi oposisi di zaman SBY. Kompak kan bawa Jokowi ke Jakarta. Sampai ada Perjanjian Baru Tulis dan seterusnya. Tapi, tiba-tiba kemudian pecah kongsi.

Enggak ada yang bisa diikat secara kuat soal komitmen politik kebangsaan kita. Dulu kita juga hampir bisa menyaksikan Golkar dan PDIP kayak ‘Tom and Jerry’, enggak pernah ketemu dan kenapa sekarang di periode Jokowi, Golkar dan PDIP enggak ada masalah. Justru yang dimusuhi PKS yang partai menengah, Demokrat yang partai menengah.

Itu orang harus paham bahwa rivalitas dan permusuhan politik di kita berdasarkan kepentingan bukan berdasarkan kebutuhan ideologi politik secara permanen. Ini efek bawaan dari presidensialisme multi partai ekstrim. Karena terlampau banyak partai.

Jadi kalau ngambek dengan satu partai, dia bisa lompat ke partai lain. Beda ceritanya kalau partainya terbatas, tiga atau empat. Kalau ngambek satu partai agak susah untuk mencari teman yang lain.

Kalau koalisi yang paling mencolok Gerindra-PDIP, Golkar-Demokrat, apakah masih ada kemungkinan partai lain untuk membangun koalisi baru dalam Pilkada?

Ada. Tapi tidak berlaku umum. Yang saya lihat agak menonjol memang begitu. PDIP dan Gerindra hampir di berbagai daerah sering mesra mendukung calon yang sama. Golkar dan Demokrat juga begitu. Kecenderungan di berbagai tempat. Yang lain juga (ada kemungkinan bikin koalisi lain), tapi tidak sebanyak dan semasif dia poros koalisi itu.

Kalau lihat Gerindra-PDIP kan yang sering kerja sama kan bukan hanya di Jawa, di luar Jawa juga banyak. Demokrat dan Golkar juga begitu. Mereka koalisinya bukan hanya di satu wilayah tertentu, tapi di banyak tempat mereka saling (koalisi). Partai-partai lain seperti agak kebingungan. Mungkin karena kursi DPRD mereka di berbagai daerah tidak terisi. Kalau pun ada, sedikit sehingga tidak bisa melakukan bargain. Cenderung mengekor, cenderung mengikuti, partai-partai yang kursinya banyak.

Biasanya, partai yang bisa menentukan koalisi sendiri relatif permanen di banyak tempat adalah partai yang kursi DPRD-nya di berbagai tempat sudah terisi penuh. Jadi cukup koalisi dua partai selesai. Tapi kalau partai menengah ke bawah lainnya agak susah.

Seperti NasDem memang kuat di luar Jawa tapi di Jawa tidak terlampau kuat. PKB di Jawa khususnya di Jawa Timur, tapi di luar Jawa Timur kan tidak kuat. Jadi enggak bisa menentukan sendiri dengan siapa harus berkoalisi, dengan siapa harus berkompetisi.(yaya)