Kaum LGBT Tagih Singapura Sahkan Pernikahan Gay
Fokusmedan.com : Komunitas Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, dan Queer (LGBTQ) menyambut baik rencana pemerintah Singapura mencabut Undang-Undang Pasal 377A KUHP yang mengkriminalisasi hubungan sesama jenis.
Pemerhati hak kaum LGBTQ menganggap Pasal 377A KUHP era kolonial itu telah lama bertentangan dengan budaya dan gaya hidup negara kota itu. Aktivis LGBTQ Singapura juga telah lama menuntut UU itu ke pengadilan namun tidak pernah berhasil.
Ron Tan, salah satu aktivis LGBT, mengatakan pencabutan Pasal 377A membuatnya “merasa lebih seperti saya diterima di Singapura.”
“Sekarang negara tidak lagi menganggap saya sebagai penjahat,” ucap Tan.
“Menghilangkan stigma yang ditimbulkan oleh Pasal 377A memudahkan lebih banyak pria gay yang selama ini tertutup untuk terbuka soal seksualitas mereka dan tidak lagi menyembunyikan identitas mereka dalam rasa malu, bersama dengan dampak psikologis lainnya,” paparnya menambahkan kepada AFP di laman CNN, Selasa (23/8/2022).
Dalam pidato hari nasional tahunannya pada Minggu (20/8), Perdana Menteri Lee Hsien Loong mengatakan akan membatalkan Pasal 377A KUHP yang berarti Singapura tidak akan lagi menghukum hubungan sesama jenis, terutama antara sesama lelaki atau gay.
Lee mengatakan masyarakat Singapura terutama generasi muda telah lebih terbuka menerima kaum LGBT di antara masyarakat.
“Karena itu, saya percaya ini (pencabutan UU kriminalisasi hubungan gay) hal yang benar untuk dilakukan, dan sesuatu yang sekarang akan diterima oleh sebagian besar warga Singapura,” ucap Lee seperti dikutip Channel News Asia.
“Keputusan ini akan membawa hukum sejalan dengan adat istiadat sosial yang berkembang saat ini. Saya berharap ini dapat memberikan kelegaan terhadap kaum gay Singapura,” ucap Lee lagi.
Hingga kini belum jelas kapan Pasal 377A akan secara resmi dicabut. Sejak diterapkan, Pasal 377A dapat mengkriminalisasi setiap individu yang ketahuan memiliki hubungan dengan sesama jenis hingga memenjarakannya maksimal dua tahun.
Namun, hukum ini tidak pernah ditegakkan secara aktif. Selama beberapa dekade terakhir, tidak jelas kapan hukum ini pernah ditegakkan.
Meski mencabut Pasal 377A yang diterapkan era kolonial, Lee menegaskan bahwa pemerintah tetap melindungi definisi pernikahan antara perempuan dan laki-laki. Dengan begitu, Singapura masih belum mengesahkan pernikahan sesama jenis.
Hal itu pun disayangkan kaum LGBT Singapura yang sebagian menganggap pencabutan Pasal 377A ini tidak ada artinya jika pemerintah tidak juga mengesahkan pernikahan sesama jenis.
Melalui sebuah pernyataan bersama, 20 kelompok LGBTQ Singapura menentang keputusan Singapura mempertahankan definisi pernikahan dalam konstitusi negara sebagai hanya antara laki-laki dan perempuan.
Menurut mereka, langkah itu tetap akan memicu perlakuan ketidaksetaraan terhadap kaum LGBTQ.
Tan menganggap mempertahankan definisi pernikahan dalam hukum hanya sebatas antara kaum perempuan dan laki-laki merupakan “langkah mundur” Singapura.
“Ini merendahkan nilai pasangan sesama jenis dan melanggar hak-hak yang seharusnya dinikmati mereka seperti pasangan heteroseksual pada umumnya,” kata Tan.
Komisaris Tinggi PBB untuk HAM, Michelle Bachelet, juga melontarkan seruan serupa. Meski menyambut baik langkah Singapura, Bachelet menambahkan bahwa “penting bagi hukum negara melindungi hubungan semua pasangan apa pun orientasi seksual dan identitas gendernya.”
“Saya meminta Pemerintah untuk mempercepat proses pencabutan dan mengambil langkah-langkah untuk melindungi hak-hak kelompok LGBTIQ+, termasuk memberlakukan undang-undang anti-diskriminasi,” kata Bachelet.
Menurut laporan tahun 2020 oleh Asosiasi Lesbian, Gay, Biseksual, Trans dan Interseks Internasional (ILGA), homoseksualitas masih dilarang di 69 negara, termasuk 11 negara yang sampai menerapkan hukuman mati bagi para pelanggar.(ng)