19/04/2024 14:43
NASIONAL

Kekerasan Seksual di Internal Terjadi 10 Tahun, KPI Pusat Dinilai Lakukan Pembiaran

Fokusmedan.com : Koalisi Masyarakat Peduli Korban Kekerasan Seksual Dalam Lembaga Negara mengkritisi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, menyusul mencuatnya kasus dugaan penindasan dan kekerasan seksual terhadap seorang pegawai berinisial MS. Yang terjadi di lembaga ini dinilai bertolak belakang dengan fungsi dan tugasnya di masyarakat.

Pengacara Publik LBH APIK, M Daerobi menyampaikan, kasus kekerasan seksual di tubuh KPI Pusat sangat tidak mencerminkan tugas lembaga itu mengedukasi masyarakat terkait konten kesusilaan, lewat penerapan sensor di berbagai tayangan media.

“Sensor konten penyiaran yang berbau LGBT misalkan, persoalan konten berbau kesusilaan, tapi dari internalnya sendiri tidak jelas,” tutur Daerobi dalam diskusi virtual, Sabtu (4/9).

Daerobi pun mencurigai adanya pembiaran dari kalangan internal KPI Pusat atas tindak pidana dugaan penindasan dan pelecehan seksual yang dialami MS. Pasalnya, dalam kurun waktu 10 tahun pun korban terus-menerus mendapatkan kekerasan berbasis gender tersebut.

“Lembaga malah mencederai HAM. Ini seperti respons KPI yang hanya menjadikan pelanggaran administratif, sementara ini adalah pidana murni,” kata Daerobi.

Budhis Utami dari Kapal Perempuan menambahkan, yang dialami MS jelas merupakan kekerasan berbasis gender. Dengan adanya kasus ini di tubuh KPI Pusat kurang lebih selama 10 tahun, sangatlah perlu ada reformasi yang dilakukan.

“Padahal dia (KPI) bertanggung jawab sebenarnya untuk melihat, memantau penayangan-penayangan yang dipublikasikan kepada masyarakat, harus memastikan itu untuk mengedukasi masyarakat, tapi di dalam lingkungan KPI sendiri tidak mencerminkan itu,” ujar Budhis.

Hal itu menunjukkan bahwa KPI Pusat hanya peduli dengan moralitas yang terlihat di luar. Sementara korban penindasan dan kekerasan seksual tidak mendapatkan penyikapan yang pantas hingga akhirnya melaporkan ke lembaga lain, dalam hal ini Komnas HAM.

“Bicara kemanusiaan, edukasi yang mencerdaskan itu yang sebenarnya mempengaruhi tindakan. Maka jika terjadi kekerasan terhadap laki-laki yang dianggap feminin tadi oleh teman-teman, diangkat menjadi sebuah kewajaran,” Budhis menandaskan.(yaya)