DJP: Tak Benar Ada Pungutan Pajak Baru Pembelian Pulsa
Fokusmedan.com : Kepala Subdit Humas Direktorat Jenderal Pajak, Ani Natalia menegaskan bahwa seluruh informasi berkaitan dengan pengenaan pemungutan pajak untuk pembelian pulsa adalah tidak benar.
“Makanya menyesatkan bahwa ada pungutan pajak baru atas pulsa ini yang menurut saya harus kita luruskan pertama,” kata dia dalam sebuah diskusi di Jakarta, Minggu (31/1).
Dia memastikan Peraturan Menteri Keuangan nomor 6/2021 tentang pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Serta Pajak Penghasilan (PPh) atas Penyerahan/Penghasilan Sehubungan Dengan Penjualan Pulsa, Kartu Perdana, Token, dan Voucer memberikan kepastian hukum yang jelas.
Masyarakat pun diminta tidak terprovokasi atas pemberitaan yang beredar di beberapa media sosial.
“Kami memahami kondisi masyarakat yang cepat terprovokasi dengan berita seperti ini. Oleh karena itu kami dari sisi kehumasan mencoba untuk memberikan klarifikasi dan agar tidak membuat masyarakat terprovokasi,” jelas dia.
Dia memahami, kondisi negara di tengah kondisi pandemi Covid-19 mengalami pelemahan ekonomi yang luar biasa. Namun, pemerintah juga tidak serta merta langsung mengenakan atau menambah objek pajak baru.
“Setiap pungutan pajak harus berdasarkan undang-undang 1945 pasal 23 Kalau berdasarkan undang-undang harus disahkan DPR dan ini tidak ada,” ungkapnya.
Pungutan Pajak Sudah Ada Sejak Era Soeharto
Staf Khusus Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo menyebut, pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Serta Pajak Penghasilan (PPh) atas Penyerahan/Penghasilan Sehubungan Dengan Penjualan Pulsa, Kartu Perdana, Token, dan Voucer bukan sesuatu yang baru. Sebab, kebijakan ini sudah diatur sejak era Presiden Soeharto.
“Sejak kapan pulsa terutang pajak? Sejak 1984 atau sekurang-kurangnya sejak 1988. Kenapa kita baru ribut sekarang? Ya selama ini nggak berasa kalau sudah dipungut pajak. Berarti pajak bukan beban berat bagi pengguna jasa telekomunikasi,” tulis Yustinus melalui akun Twitter @prastow seperti dikutip pada Minggu (3151).
PPN dan PPh dalam industri telekomunikasi yang dimaksud adalah PP Nomor 28 Tahun 1988 yang ditegaskan dengan SE-48/PJ.31988 tentang Pengenaan PPN Jasa Telekomunikasi. Dengan aturan itu, PPN atas jasa telekomunikasi yang kemudian sarana transmisinya berubah ke voucer pulsa dan pulsa elektrik telah dikenai pajak.
“Jadi sesungguhnya tak perlu terjadi polemik dan kontroversi. Ini hal yang biasa, bahkan menguntungkan publik dan negara,” kata dia.
Dia menambahkan, kehadiran PMK 6/2021 ini intinya bakal memberi kepastian status pulsa sebagai barang kena pajak agar seragam karena kadang dipahami sebagai jasa. Lalu pemungutan disederhanakan hanya sampai dengan distributor besar, sehingga meringankan distributor biasa dan para pengecer pulsa.
“Jadi mestinya kebijakan ini disambut baik. PPN atas pulsa (jasa telekomunikasi) memang sudah lama terutang dan tak berubah, pedagang dipermudah, konsumen tdk dibebani pajak tambahan,” jelasnya.
Sementara itu, terkait dengan PPh Pasal 22, yang dikenakan 0,5 persen dirinya memberikan perumpamaan. Misalnya, PPh 0,5 persen ilustrasinya Rp500 perak dari voucher pulsa Rp100 ribu. Ini dipungut tapi bisa dijadikan pengurang pajak di akhir tahun, ibarat cicilan pajak.
“Bagi yang sudah WP UMKM dan punya Surat Keterangan, tinggal tunjukin dan tak perlu dipungut lagi. Adil dan setara bukan?,” jelas dia.(yaya)