20/04/2024 18:17
NASIONAL

Membongkar Penyebab Pertamina Rugi Rp11 Triliun Hingga Ada Campur Tangan Pemerintah

fokusmedan : PT Pertamina (Persero) mencatatkan rugi bersih sebesar USD 767,92 juta atau Rp 11,2 triliun pada semester I-2020. Angka ini berbanding terbalik dengan periode yang sama tahun 2019, yang mana saat itu Pertamina tercatat membukukan laba bersih USD 659,96 juta atau sekitar Rp9,6 triliun.

Dikutip laporan keuangan Pertamina di laman resminya, penurunan laba Pertamina disebabkan pendapatan usaha berkurang dari USD 25,55 miliar menjadi USD 20,48 miliar. Hal ini disebabkan penjualan minyak dalam negeri seperti minyak mentah, gas bumi, energi panas bumi dan produksi minyak tercatat turun 20,91 persen menjadi USD 16,56 miliar.

Beban produksi hulu dan lifting naik dari USD 2,38 miliar menjadi USD 2,43 miliar. Beban operasional perusahaan ikut naik menjadi USD 960,98 juta dari USD 803,7 juta. Namun, beban pokok penjualan dan beban langsung lainnya turun dari USD 21,98 miliar menjadi USD 18,87 miliar.

Meski demikian, laba kotor Pertamina tetap merosot 55,05 persen menjadi USD 1,60 miliar. Pertamina juga mengalami rugi selisih kurs sebesar USD 211,83 juta, di mana tahun lalu di periode yang sama, selisihnya masih positif USD 64,59 juta.

VP Komunikasi Perusahaan Pertamina Fajriyah Usman menjelaskan sepanjang semester 1-2020 Pertamina menghadapi triple shock yakni penurunan harga minyak mentah dunia, penurunan konsumsi BBM di dalam negeri, serta pergerakan nilai tukar dolar yang berdampak pada selisih kurs yang cukup signifikan.

“Pandemi covid-19 dampaknya sangat signifikan bagi Pertamina. Dengan penurunan demand, depresiasi rupiah, dan juga crude price yang berfluktuasi sangat tajam membuat kinerja keuangan kita sangat terdampak,” kata Fajriyah dikutip Antara, Selasa (25/8).

Penurunan permintaan tersebut terlihat dari konsumsi BBM secara nasional yang sampai Juni 2020 hanya sekitar 117 ribu kilo liter (KL) per hari atau turun 13 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2019 yang tercatat 135 ribu KL per hari. Bahkan pada masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di beberapa kota besar terjadi penurunan permintaan hingga 50-60 persen.

“Namun Pertamina optimis sampai akhir tahun akan ada pergerakan positif sehingga diproyeksikan laba juga akan positif, mengingat perlahan harga minyak dunia sudah mulai naik dan juga konsumsi BBM baik industri maupun ritel juga semakin meningkat,” ujarnya.

Tiga Penyeba Utama

Direktur Keuangan Pertamina Emma Sri Martini menjelaskan tiga penyebab utama kerugian yang mencapai triliunan tersebut. Pertama mengenai penjualan perusahaan yang mengalami gejolak cukup besar akibat adanya pandemi Virus Corona.

“Terkait kerugian Pertamina untuk posisi Juni 2020 sebesar Rp11 triliun. Ada 3 syok yang mungkin kita bisa sampaikan dari beberapa kesempatan yang pertama yang sangat signifikan menghantam cashflow adalah terkait penurunan sales ini yang tidak terjadi pada masa masa krisis terdahulu,” ujar Emma saat menghadiri rapat kerja bersama DPR, Jakarta, Senin (31/8).

Emma mengatakan, penjualan produk pertamina sangat terdampak dengan adanya pandemi Virus Corona. Penurunan penjualan secara signifikan terjadi pada kuartal II-2020.

“Pandemi Covid ini signifikan sekali penurunan demand menyebabkan revenue sangat terdampak. Jadi berapa pun crude price sangat rendah dan juga karena demand tidak ada, tidak berdampak pada revenue kita,” katanya.

Kedua adalah terkait dengan fluktuasi nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat. Di mana pada akhir tahun lalu, Rupiah berada pada posisi Rp13.900 per USD lalu menanjak tajam menjadi Rp16.767 per USD.

“Memasuki kuartal II itu kurs sangat fluktuatif dan kita sangat terdampak sekali, karena buku kita USD sementara revenue dalam Rupiah jadi semakin ter hit nya dari berbagai dampak. Jadi dari revenue turun dan selisih kurs kita sangat terdampak sekali. Kita lihat selisihnya sangat tajam,” paparnya.

Faktor lain kata Emma adalah, pelemahan ICP atau harga minyak mentah. Di satu sisi, hilir sedikit berdampak pada keuntungan tetapi sebenarnya tidak juga karena ada penurunan permintaan di avtur dan juga BBM sementara stok besar dan harga turun.

“Karena di inventori kita menumpuk barang. April Mei stok avtur kita bisa stoknya sampai 400 hari. Kemudian, solar juga sama semua terdampak dan itu menjadi inventori cost sementara revenue tidak ada. Sehingga kta tidak enjoy terhadap penurunan harga ICP,” jelasnya.

Keterlibatan Pemerintah

Ekonom Senior, Faisal Basri menyebut bahwa kerugian yang dialami PT Pertamina dan PT PLN ada keterlibatannya dengan pemerintah. Salah satunya adalah bengkaknya utang pemerintah di kedua Perseroan tersebut melalui kebijakan dana kompensasi.

“Jadi kalau misalnya piutang pemerintah itu sudah masuk ke kas Pertamina, kan Pertamina jadi enggak rugi. Kan utangnya (pemerintah) kira-kira Rp45 triliun, ruginya Rp11 triliun,” katanya di Gedung Parlemen, Jakarta, Senin (31/8).

Pada Semester I-2020, Pertamina tercatat mengalami kerugian sebesar Rp11,13 triliun. Sementara PT PLN, meskipun tidak rugi namun pendapatannya turun hingga 96,28 persen pada Semester I-2020.

“Jadi perusahaan-perusahaan ini bagus, komitmen direksinya bagus sebetulnya tapi mereka nggak berani ngadu ke bapak ibu (DPR) sekalian jadi saya saja yang sampaikan,” kata dia.

Faisal menjelaskan, dana kompensasi itu selama ini dimanfaatkan pemerintah untuk menekan harga bahan bakar minyak maupun listrik, di tengah turunnya kebijakan subsidi energi.

“Data subsidi BBM semu, kalau di APBN subsidi BBM turun terus tapi sekarang ada namanya dana kompensasi yang tidak dibicarakan dengan DPR, suka-suka pemerintah saja,” tutur dia.

Di sisi lain, kedua perusahaan itu juga terus dibebankan dengan kebijakan penugasan. Misalnya, Pertamina yang diharuskan membangun rumah sakit untuk menampung pasien Covid-19.

“Ada bangun rumah sakit covid itu bukan dari APBN, dari koceknya Pertamina sendiri, tanah sudah dikasih (Pertamina). Kemudian bangun ibu kota baru Pertamina di suruh bangun menara BUMN,” tegas Faisal.

Kendati begitu, dirinya memahami bahwa kondisi saat ini memang menyebabkan berbagai perusahaan energi mengalami kerugian. Sebab produksi migas tidak bisa di sesuaikan dengan turunnya konsumsi selama Pandemi Covid-19.(yaya)