Menteri Bikin Jengkel Jokowi dari Sudut Pandang Parpol Pendukung
fokusmedan : Presiden Joko Widodo marah, jengkel, melihat kinerja menteri di kabinetnya. Jokowi belum melihat para menteri bekerja ekstra. Padahal, situasi sedang sulit, krisis, akibat pandemi Covid-19. Kemarahan itu dilakukan dalam rapat kabinet 18 Juni lalu.
Orang nomor satu di RI ini bahkan sampai mengeluarkan ancaman bakal mengganti, alias reshuffle menteri yang dianggap bekerja tak sesuai ekspektasi. Bukan cuma itu, Jokowi rela kehilangan reputasi politik demi 267 rakyat Indonesia yang kini kondisi sedang sulit.
“Langkah apapun yang extraordinary akan saya lakukan. Untuk 267 juta rakyat kita. Untuk negara. Bisa saja, membubarkan lembaga. Bisa saja reshuffle. Udah kepikiran ke mana-mana saya,” ujar Jokowi dalam video dari Sekretariat Presiden, Minggu (28/6).
Jokowi meminta para menterinya lebih bekerja keras menghadapi krisis tersebut. Menurut dia, saat ini bukan lagi situasi normal yang hanya bekerja seperti biasa.
“Kita harus ngerti ini. Jangan biasa-biasa saja, jangan linear, jangan menganggap ini normal. Bahaya sekali kita. Saya lihat masih banyak kita yang menganggap ini normal,” jelas Jokowi.
Atas kemarahan tersebut, sejumlah kinerja menteri pun menjadi sorotan. Baik oleh partai politik pendukung pemerintah maupun para analis politik.
Ekonomi
Pimpinan parpol penguasa PDIP punya penilaian sendiri soal kinerja kabinet Jokowi-Ma’ruf. Salah satu yang paling disoroti yakni menteri bidang ekonomi yang dipimpin oleh Airlangga Hartarto.
Sekretaris Fraksi PDIP di DPR, Andreas Hugo Pareira mengatakan, Jokowi sangat menekankan soal evaluasi kinerja para menteri dan respon sense of crisis dari para pembantu presiden yang terlihat dalam kinerja di masing-masing kementerian dan lembaga.
“Melihat gesture presiden dalam pidato ini, nampaknya akan ada reshuffle kabinet, terutama terhadap pembantu-pembantunya yang kurang tanggap sense of crisis,” ucap Andreas.
PDIP Soroti menteri di bidang ekonomi. Dia meyakini, menteri ini yang dianggap kurang tanggap dalam menghadapi situasi krisis seperti sekarang.
“Terutama tentu yang berkaitan dengan pembantu-pembantu presiden yang berkaitan dengan penanggulangan Covid-19, penanggulangan dampak sosial ekonomi dan pemulihan ekonomi,” tambahnya.
TKA China dan PSBB
Sekjen PPP Arsul Sani punya analisa lain soal siapa yang layak diganti. Tidak secara tegas mengungkap, namun dia memberikan kriteria.
Pertama, Arsul melihat, ada sejumlah anggota kabinet yang sulit diukur kinerjanya. Karena tidak pernah secara terbuka atau jelas menyampaikan hasil kerja. Baik di media massa atau media sosial.
Kedua, ada anggota kabinet yang berkomunikasi publik, tapi tidak mengkoordinasikan dengan anggota kabinet lainnya atau tidak membaca apa yang disampaikan jajaran pemerintahan lainnya.
“Sehingga menjadi nggak ‘match’ terkait sikap pemerintah atas suatu masalah. Ini misalnya waktu itu isu karantina, pelonggaran PSBB, TKA China dan lain-lain,” kata Arsul.
Arsul menambahkan, kekecewaan atau kemarahan Presiden Jokowi kepada sejumlah menteri kabinetnya merupakan lecutan agar menteri-menteri yang kinerjanya tidak maksimal bekerja lebih keras.
Serta, lebih peka dalam menyikapi perkembangan pandemi Covid-19 yang menyebabkan lesunya ekonomi yang luar biasa dan bahkan menuju resesi.
“Tapi apakah ini merupakan sinyal reshuffle dalam waktu dekat? Jawabannya ya bisa ya, bisa tidak. Hanya kalau melihat pada masa kepresidenan Pak Jokowi yang pertama, reshuffle itu bukan lagi hal yang luar biasa,” tuturnya.
Kesehatan dan Sosial
Wakil Ketua Umum Partai NasDem, Ahmad Ali menilai, hak Jokowi ingin mereshuffle kabinet. Dia menyadari hal tersebut. Termasuk, kapan Jokowi akan merombak kabinetnya.
“Bagi NasDem monggo silakan, pertanyaan yang sekarang, apakah waktu yang tepat atau tidak. Sekali lagi itu hak dia, ketika Pak Presiden ingin melakukan reshuffle kita dukung, karena kita tidak mau masuk dalam ruang itu,” tuturnya.
Ali mengatakan, jika nantinya ada menteri dari NasDem yang terkena reshuffle. Posisi NasDem akan tetap mendukung Presiden Jokowi.
“Tidak apa, ketika ada kader NasDem yang terkena reshuffle, walaupun dalam konteks yang disoroti Pak Jokowi soal ekonomi, sosial, kesehatan, tidak ada kader NasDem di posisi itu. Jadi apapun hasilnya yang bisa menentukan bukanlah partai politik,” katanya.
Analisa Pakar
Manajer Riset dan Program The Indonesian Institute Arfianto Purbolaksono memotret kekesalan Jokowi dari sisi birokrasi pemerintah. Menteri tak juga salah bekerja lambat.
Birokrasi menjadi salah satu kendala, menurut Arfianto. Ditambah pemahaman menteri yang masih minim soal pejabat birokrat di bawahnya. Begitu juga birokrat yang khawatir mengambil kebijakan.
“Seharusnya pesan ini ditujukan bukan hanya kepada para menteri sebagai pembantu Presiden, tetapi juga kepada perangkat birokrasi di level pelaksana kebijakan,” ucap Arfianto, Senin (29/6).
Dia menuturkan, para menteri harus dapat mengendalikan dan mengontrol birokrasi, sehingga dapat bekerja sesuai dengan target-target yang telah ditetapkan.
Arfianto juga melihat, kegagalan implementasi kebijakan dapat terjadi jika tidak adanya tujuan yang sama antara menteri sebagai pejabat politik dengan para pejabat birokrasi di kementeriannya.
“Celakanya lagi, jika menteri tersebut minim pemahaman mengenai mekanisme prosedural atau substansi kebijakan, seperti yang dimiliki oleh para birokratnya, sehingga mempersulit kontrol mereka atas birokrasi,” ungkap Arfianto.
Hal ini semakin buruk, tambah dia, terutama ketika pemerintah menghadapi situasi krisis, seperti pandemi Covid-19. Karena kinerja pemerintah dan aparat birokrasi belum optimal dalam bertindak dalam menangani wabah ini.
Menurut dia, berdasarkan Undang-Undang No 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, Pasal 13 disebutkan jabatan birokrasi dibagi tiga, yakni jabatan administrasi, jabatan fungsional dan jabatan pimpinan tinggi.
Ketiga kelompok jabatan ini berkorelasi dengan tanggung jawab mereka sebagai pelaksana kebijakan. Dengan demikian, apa yang disampaikan Presiden Jokowi tentang sense of crisis juga diharapkan dan seyogyanya muncul dari mereka.
Selain itu, dia menjelaskan, masalah yang kerap kali menghambat kecepatan kerja birokrasi adalah dilema antara tekanan untuk kerja cepat dan ketaatan terhadap prosedur, serta ketepatan dalam mencapai target sasaran kebijakan.
“Di satu sisi, aparat birokrasi ketakutan melanggar prosedur dalam menjalankan tugasnya. Tetapi di sisi lain, acap kali prosedur dijadikan alasan untuk tidak dapat bergerak cepat. Hal ini pula yang membuat pemerintah dan birokrasi terlihat gagap, bingung, dan tidak sigap dalam mengatasi situasi krisis,” jelas Arfianto.
Menurut dia, di sinilah seharusnya tugas dan tanggung jawab menteri untuk melaksanakan arahan Presiden Jokowi dengan mendorong kerja-kerja birokrasi agar lebih sigap dan peka, dengan mengeluarkan panduan atau prosedur dalam bentuk Peraturan Menteri.
“Untuk itu, pengawasan dan evaluasi yang ketat menjadi sangat penting untuk memastikan kebijakan diterapkan secara efektif oleh pemerintah dan segenap aparat birokrasinya dengan solid, tanggap, sigap dan tepat,” pungkasnya.(yaya)