Bos BI Tegaskan Tak akan Cetak Uang untuk Tangani Corona
fokusmedan : Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo menegaskan BI tidak akan melakukan pencetakan uang kartal untuk penanganan pandemi Covid-19. Sebab, pencetakan uang bukan merupakan praktik kebijakan yang lazim dan prudent dilakukan oleh bank sentral.
Hal ini menjawab rekomendasi Badan Anggaran (Banggar) DPR agar BI kembali mencetak uang hingga Rp 600 triliun sebagai penopang dan opsi pembiayaan yang dibutuhkan oleh pemerintah.
Sebelumnya, BI telah mencetak uang baru pada awal April 2020 untuk mengganti uang yang di karantina, sebagai upaya mencegah penyebaran virus corona lewat uang tunai. Dengan demikian, persediaan uang tunai saat ini sudah cukup dan bisa digunakan sampai 6 bulan ke depan.
“Ini mohon maaf, kebijakan itu tidak lazim dengan kebijakan moneter yang prudent. Agar Masyarakat paham, mohon pandangan itu tidak lagi disampaikan. Pandangan itu tidak akan dilakukan di BI,” kata Perry, Rabu (6/5).
Menurutnya, mekanisme pengedaran uang kartal dan logam, sesuai Undang-undang Mata Uang mengenai perencanaan, pencetakan, dan pemusnahan uang, dilakukan melalui koordinasi Bank Indonesia dengan Kementerian Keuangan. Sementara jumlah nya, sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang diukur dari pertumbuhan konomi dan inflasi.
“Jadi tidak ada BI cetak uang lalu dibagi-bagi ke masyarakat, ora ono kui. Jangan menambah kebingungan masyarakat. BI cetak uang untuk tangani covid, itu bukan kegiatan yang lazim di bank sentral dan termasuk BI,” kata Perry.
Rekomendasi Banggar DPR
Ketua Banggar DPR, Said Abdullah, menilai besarnya kebutuhan pembiayaan yang diperlukan pemerintah dalam penanganan pandemi virus corona atau Covid-19 kurang mencukupi. Hal itu didasarkan pada berbagai hal, salah satunya ancaman terhadap keringnya likuiditas perbankan.
Untuk itu, Banggar DPR RI merekomendasikan kepada Bank Indonesia dan pemerintah untuk melakukan sejumlah hal, salah satunya mencetak uang dengan jumlah Rp 400-600 triliun. Mengingat, dalam situasi global yang ekonominya slowing down, tidak mudah mencari sumber sumber pembiayaan, meskipun dengan menerbitkan global bond dengan bunga besar.
“Bank Indonesia dapat menawarkan yield sebesar 2-2,5 persen, sedikit lebih rendah dari global bond yang dijual oleh pemerintah,” lanjutnya.
Kebijakan mencetak uang sebagaimana yang dimaksud sebelumnya, dinilai Said harus memperhitungkan biaya operasi moneter Bank Indonesia. Sehingga biaya tersebut tidak boleh dibebankan kepada Pemerintah.
“Oleh sebab itu, besaran yieldnya tidak boleh lebih rendah dari biaya operasi moneter Bank Indonesia, agar tidak menimbulkan kerugian bagi Bank Indonesia, serta tidak menyebabkan modal Bank Indonesia lebih rendah 10 persen dari kewajiban moneternya,” jelas Said.(yaya)