Aceh Ditetapkan Darurat Corona, Muncul Usul Berlakukan Jam Malam
fokusmedan : Pemerintah Aceh telah menetapkan status tanggap darurat skala provinsi untuk penanganan Covid-19. Penetapan ini agar pandemi global virus corona dapat dicegah penyebaran di Serambi Makah.
Keputusan ini ditetapkan oleh Plt Gubernur Aceh, Nova Iriansyah tertuang dalam surat yang bernomor 360/969/2020 tertanggal 20 Maret 2020. Berlangsung selama 71 hari sampai 29 Mei 2020.
Status tanggap darurat dapat diperpendek atau diperpanjang sesuai dengan kebutuhan pelaksanaan penanganan darurat bencana non alam Keputusan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Peningkatan status ini mengingat penyebaran virus corona di dunia cenderung meningkat. Bahkan telah menimbulkan korban jiwa dan telah berimplikasi pada aspek sosial ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat.
“Penetapan status siaga darurat bencana non alam penyebaran Covid-19 yang ditetapkan pada tanggal 17 Maret 2020 perlu ditingkatkan menjadi status tanggap darurat,” kata Plt Gubernur Aceh, Nova Iriansyah.
Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) telah merekomendasikan kepada pemerintah Aceh untuk memberlakukan jam malam di seluruh Aceh untuk mencegah keramaian agar krisis COVID-19 segera berakhir.
Rekomendasi ini berangkat dari survei yang dilakukan Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDRMC) Unsyiah secara daring sejak 22-23 Maret 2020. Hasilnya, hampir 30 persen responden menyatakan masih beraktivitas di luar rumah sekitar 4 kali dalam sehari.
Frekuensi ini cukup mengkhawatirkan mengingat semakin sering orang berada di luar rumah, risiko terpapar Covid-19 semakin besar. Padahal sesuai dengan rekomendasi Badan Kesehatan Dunia (WHO), untuk memutus mata rantai virus corona agar masyarakat mengurangi physical distance (menjaga jarak fisik).
Hasil survei itu juga menunjukkan secara umum 94,3 persen respon menyatakan masih melakukan aktivitas di luar rumah dalam seminggu ini. Hanya sepertiga para responden (34,1 persen) menyebutkan berada di luar rumah lebih dari 3 jam tiap kali berada di luar rumah.
Adapun tempat yang paling banyak dikunjungi adalah pasar sebanyak 39,3 persen, tempat ibadah 32,0 persen dan warung kopi 20,4 persen. Padahal warung kopi sudah diminta oleh Wali Kota Banda Aceh tutup, atau berjualan tanpa ada yang nongkrong di lokasi, tetapi pelanggan setelah membeli dan bawa pulang ke rumah.
Lokasi yang sering dikunjungi selain pasar adalah kantor sebanyak 39,5 persen dalam seminggu ini. Lalu 8,4 persen tempat resepsi pernikahan, padahal Kapolri sudah intruksikan tidak diperkankan ada keramaian, termasuk resepsi pernikahan.
Adapun transportasi yang dipelgunakan saat beraktifitas di luar rumah adalah kenderaan pribadi. Jumlah persentasenya adalah 94 persen, baik motor maupun mobil. Transportasi umum lainnya adalah ojek daring sebanya 1,7 persen selebihnya becak, transkutaraja dan labi-labi.
Survei itu juga mendapatkan responden memiliki persepsi ragu-ragu terhadap kesiapan Pemerintah Aceh menghadapi ancaman Covid-19. Terdapat 2.455 responden atau 53 persen menyatakan ragu-ragu. Sekitar 19 persen menyebutkan pemerintah Aceh tidak siap menghadapi ancaman ini. Namun ada sekitar 28 persen responden berpersepsi Pemerintah Aceh siap menghadapi pandemi Covid-19.
Adapun kesimpulan dari survei tersebut, 4.628 responden di Aceh atau 57 persen memiliki anggota keluarga yang rentan terinfeksi Covid-19. Seperti ibu hamil. balita, lansia yang usia di atas 65 tahun dan penderita penyakit kronis. Tentu ini memperlihatkan tingkat kerentanan warga dari aspek struktur anggota keluarga.
Selain itu dalam sepekan ini masih cukup banyak warga Aceh menghabiskan waktu di tempat berpotensi terpapar virus corona. Berada di lokasi yang berpotensi menggagalkan prinsip physical distancing, seperti warung kopi dan resepsi pernikahan.
Tentunya kedua tempat itu, berdasarkan survey yang dipimpin oleh Prof Dr Khairul Munadi merekomendasikan agar diawasi secara ketat. Mengingat kesuksesan menghambat penyebaran virus corona sangat tergantung dari physical distancing yang ketat, jika pilihan lockdown tidak dilaksanakan.
Khairul Munadi dalam laporan itu menyebutkan, para responden mengharapkan pemerintah agar mempertegas mekanisme menjaga jarak fisik. Lalu memperkuat kapasitas tenaga media di kabupaten/kota seluruh Aceh.
Begitu juga harus ada jaminan dari pemerintah memastikan keterseidaan masker dan hand sanitizer di pasar yang sekarang semakin sulit ditemukan. Meningkatkan kesiapan tenaga kesehatan melalui penyediaan Alat Pelindung Diri (APD) yang lengkap dan standar.
“Memberlakukan jam malam sementara di seluruh wilayah Aceh untuk mencegah keramaian hingga krisis COVID-19 berakhir. Memperpanjang masa belajar dari rumah bagi anak-anak sekolah dan perluasan masa bekerja dari rumah bagi pegawai pemerintah,” kata Rektor Unsyiah, Prof Samsul Rizal.
Samsul Rizal juga meminta kepada Gubernur dan Bupati/Walikota melakukan pembatasan dan pengawasan akses keluar masuk ke Aceh. Melalui jalur darat, laut, dan udara, baik akses domestik maupun internasional (pesawat, kapal kargo, kapal pesiar, dan lainnya). Termasuk jalur penerbangan k Simeulue, Rembele, dan Lhokseumawe.
Melakukan pembatasan aktifitas masyarakat di luar rumah, termasuk membatasi perkumpulan orang lebih dari 10 orang. Mengajak para ulama, tokoh agama, tokoh adat/masyarakat, dan pengelola masjid untuk memberikan edukasi bagi masyarakat dalam upaya mengurangi potensi penyebaran virus.(yaya)