Dilarang Foto dan Rekam Sidang Bikin Susah Awasi Rekayasa Kasus dan Hakim
fokusmedan : Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Nasional Totok Yuliyanto menolak keras aturan larangan mendokumentasikan persidangan. Menurut dia, aturan itu melanggar HAM dan prinsip fair trial.
Dirjen Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran Nomor 2 tahun 2020 Tentang Tata Tertib Menghadiri Persidangan (SEDirjen Badilum 2/2020), pada 7 Februari 2020. Isinya, Pengambilan Foto, rekaman suara, rekaman TV harus seizin Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
PBHI menilai, terdapat pelanggaran terhadap hak asasi manusia serta prinsip dasar dalam peradilan akibat terbitnya SEDirjen Badilum 2/2020 tersebut. Pertama, Konstitusi UUD Negara RI Tahun 1945, serta Instrumen Hak Asasi Manusia. Dalam deklarasi Universal HAM, Kovenan Hak Sipil dan Politik/ UU No. 12 Tahun 2005 telah menjamin hak setiap orang atas pemeriksaan yang adil dan terbuka untuk umum oleh suatu badan peradilan yang berwenang, bebas dan tidak berpihak.
“Hak atas peradilan yang adil dan jujur, merupakan jenis hak sipil dan politik yang bersifat negatif (negative rights), di mana pemenuhan, penghormatan dan perlindungannya semakin baik jika negara tidak melakukan intervensi (termasuk pelanggaran). Singkatnya, semakin kecil intervensi (pelanggaran, pembatasan, peran) negara dalam pengaturan hak ini maka semakin baik tugas negara,” kata Totok, Jumat (28/2).
Totok menambahkan, pendokumentasian persidangan merupakan bentuk kegiatan dalam rangka menjamin hak atas peradilan yang adil dan jujur. PBHI menegaskan, peradilan di Indonesia belum menjamin pendokumentasian dalam proses hukum yang dapat diakses oleh pihak yang berperkara yang merupakan bentuk pelayanan publik.
“Sehingga banyak terjadi rekayasa kasus, penghilangan bukti, serta pertimbangan hakim yang tidak berdasarkan fakta persidangan. Oleh sebab itu, tidak dapat dibatasi dengan mekanisme apapun termasuk ijin” jelas Ketua PBHI Nasional, Totok Yuliyanto.
Kedua, prinsip dasar dalam peradilan yang adil dan jujur, adalah adanya pengawasan yang intensif dan terbuka, bukan hanya oleh pihak yang berperkara yapi juga oleh publik. Terlebih lagi dalam situasi peradilan yang koruptif.
“PBHI mencatat, faktanya ada 20 Hakim yang terlibat praktik Korupsi sejak 2012-2019, belum termasuk panitera, ini gambaran bahwa masih koruptif dan perlu pengawasan yang ketat,” tambah Sekjen PBHI Nasional Julius Ibrani.
Pengawasan ini tidak boleh dipandang sebagai bentuk pelanggaran ketertiban. Terlebih lagi, tidak ada indikator ketertiban dalam SEDirjen Badilum MA No. 2/2020, sehingga dapat menimbulkan subyektivitas dan multitafsir yang menyebabkan ketidakpastian hukum. Sejatinya, pengawasan justru menjadi modal utama untuk menjaga nama baik dan etika profesi ketika bertugas.
PBHI memahami bahwa independensi serta obyektivitas Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara di persidangan wajib dijunjung tinggi dengan didukung oleh kondisi yang tertib, disiplin, dan tenang demi menjaga keadilan.
Namun PBHI menolak pemberlakuan SEDirjen Badilum MA No. 2/2020 karena melanggar HAM dan bertentangan dengan prinsip peradilan yang adil dan jujur, serta mengeliminasi pengawasan publik.
Julius mendesak, MA mencabut SEDirjen Badilum MA No. 2/2020. Kemudian, meminta Komisi Yudisial untuk berkoordinasi dengan MA terkait SEDirjen Badilum MA No. 2/2020 dan prinsip pengawasan publik terhadap peradilan.(yaya)