27/04/2024 9:55
NASIONAL

Tolak Omnibus Law dan Upah Buruh, Buruh di Sumut Ancam Aksi Dua Hari

Ilustrasi demo buruh. Dok

fokusmedan : Elemen buruh yang tergabung dalam Dewan Pimpinan Wilayah Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia Provinsi Sumatera Utara (DPW FSPMI Sumut) akan aksi turun ke jalan menuntut Presiden RI Joko Widodo mencabut UU No 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja. Buruh juga menuntut Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi merevisi Upah Minimum Provinsi (UMP) agar naik minimal delapan persen untuk tahun 2021 mendatang.

“Buruh di Sumut akan lakukan aksi turun ke jalan selama dua hari pada 9-10 November mendatang,” kata Ketua FSPMI Sumut , Willy Agus Utomo, Jumat (6/11/2020).

Menurutnya, UU Omnibus Law telah dikaji pihaknya, dan menyimpulkan bahwa hampir keseluruhan pasal di UU Cipta Kerja tersebut banyak merugikan kaum buruh Indonesia. Selain itu, UU tersebut dianggap mengkebiri buruh.

Ia Kerinci, beberapa pasal yang merugikan buruh antara lain, Pasal 88C Ayat (1) yang menyebutkan Gubernur wajib menetapkan upah minimum provinsi dan Pasal 88C Ayat (2) yang menyebutkan gubernur dapat menetapkan upah minimum kabupaten/kota dengan syarat tertentu.

Dengan adanya sisipan Pasal 88C Ayat (1) yang menyebutkan gubernur wajib menetapkan upah minimum provinsi dan Pasal 88C Ayat (2) yang menyebutkan gubernur dapat menetapkan upah minimum kabupaten/kota dengan syarat tertentu.

Menurutnya, penggunaan frasa “dapat” dalam penetapan upah minimum kabupaten/kota (UMK) sangat merugikan buruh. Karena penetapan UMK bukan kewajiban, bisa saja gubernur tidak menetapkan UMK, hal ini akan mengakibatkan upah murah.

“Dengan kata lain, berlakunya UU Cipta Kerja mengembalikan kepada rezim upah murah. Hal yang sangat kontradiktif, apalagi Indonesia sudah lebih dari 75 tahun merdeka” tegas Willy.

Oleh karena itu FSPMI meminta agar UMK harus tetap ada tanpa syarat dan UMSK serta UMSP tidak boleh dhilangkan. Jika ini terjadi, maka akan berakibat tidak ada income security (kepastian pendapatan) akibat berlakunya upah murah.

Selain itu, lanjut Willy UU No 11 Tahun 2020 juga menghilangkan batas waktu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu ( PKWT), Outsourcing (biro jasa) bisa di segala lini sektor utama dan seumur hidup. Dengan tidak adanya batasan terhadap jenis pekerjaan yang boleh menggunakan tenaga outsourcing, maka semua jenis pekerjaan di dalam pekerjaan utama atau pekerjaan pokok dalam sebuah perusahaan bisa menggunakan karyawan outsourcing.

Hal ini mengesankan negara melegalkan tenaga kerja diperjual belikan oleh agen penyalur.

“Padahal di dunia internasional, outsourcing disebut dengan istilah modern slavery (perbudakan modern),” ungkap Willy.

Masih kata Willy, UU ini juga mengurangi nilai pesangon buruh, dari 32 bulan upah menjadi 25 upah (19 dibayar pengusaha dan 6 bulan melalui Jaminan Kehilangan Pekerjaan yang dibayarkan BPJS Ketenagakerjaan).

Hal ini jelas merugikan buruh Indonesia, karena nilai jaminan hari tua dan jaminan pensiun buruh Indonesia masih kecil dibandingkan dengan beberapa neagra ASEAN.

Bandingkan dengan Malaysia. Di sana, jumlah pesangon antara 5-6 bulan upah. Tetapi nilai iuran jaminan hari tua dan pensiun buruh Malaysia mencapai 23%. Sedangkan buruh Indonesia nilai JHT dan pensiunnya hanya 8,7%. Akibat nilai jaminan sosial yang lebih kecil itulah, wajar jika kemudian negara melindungi buruh melalui skema pesangon yang lebih baik.

“Dan masih banyak Pasal yang merugikan kaum buruh, maka kami akan terus berjuang agar UU ini di Cabut kembali kan UU Ketenagakerjaan NO 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan” tuntuanya.

Sekretaris FSPMI Sumut, Tony Rickson Silalahi menambahkan, pihaknya telah melayangkan pemberitahuan aksi unjuk rasa damai yang akan dilaksanakan selama dua hari yakni tanggal 9-10 November 2020 ke Polda Sumatera Utara. Tujuan Aksi nantinya di pusatkan di Kantor Gubernur dan Kantor DPRD Sumut,

“Massa Aksi 500 orang perwakilan buruh FSPMI dari kota Medan, Deli Serdang, Serdang Bedagai, Labuhan Batu dan Padang Lawas,” ucapnya.(ng)