19/04/2024 19:25
INTERNASIONAL

Gegara Corona, Pernikahan Gadis di Bawah Umur Meningkat Drastis di Asia

Ilustrasi pernikahan dini.

fokusmedan : Gegara pandemi virus corona, puluhan ribu gadis di Asia diyakini terpaksa melakukan pernikahan di bawah umur.

Kemiskinan, PHK, dan berhenti sekolah selama penguncian dan pembatasan sosial jadi faktor utama yang mendorong pernikahan
terlalu dini itu.

Puluhan ribu anak perempuan di bawah umur di Asia dilaporkan dipaksa menikah oleh keluarganya yang putus asa karena jatuh miskin akibat pandemi virus corona.

Meski telah lama ditentang oleh para aktivis, praktik pernikahan anak masih marak terjadi. Pernikahan anak telah menjadi hal yang umum dijumpai di masyarakat tradisional di negara-negara Asia seperti India, Pakistan, Vietnam, dan Indonesia.

Baca Juga : Pemerintah Turunkan Tarif Listrik Non-Subsidi

Tetapi hal tersebut perlahan mulai dapat ditekan seiring upaya-upaya yang dilakukan pemerintah ataupun LSM yang mendorong akses pendidikan dan layanan kesehatan untuk perempuan.

Namun, upaya ini tampaknya terhalang dengan adanya pandemi virus corona. Jutaan orang kehilangan pekerjaan dan para orang tua putus asa untuk menafkahi anak-anaknya.

“Semua kemajuan yang yang kami peroleh dalam satu dekade terakhir benar-benar mengalami kemunduran,” ujar Shipra Jha, Kepala Penasihat untuk Asia dari LSM Girls Not Brides dari laman Kompas.com, Rabu (2/9/2020).

Kemiskinan, minim edukasi, rentan akan keamanan, mendorong terjadinya pernikahan anak, dan krisis saat ini makin memperparah kondisi yang ada, ungkap Jha.

Berdasarkan data PBB, diperkirakan terdapat 12 juta anak perempuan di seluruh dunia menikah sebelum umur 18 tahun setiap tahunnya.

PBB pun memperingatkan dampak ekonomi dan sosial yang bisa ditimbulkan akibat pandemi virus corona saat ini, karena dikhawatirkan angka tersebut dapat meningkat 13 juta dalam dekade berikutnya.

Di Asia sendiri, menurut sejumlah LSM, angka pernikahan anak diyakini membengkak bak bola salju.

“Telah terjadi peningkatan pernikahan anak selama periode lockdown. Pengangguran merajalela, PHK dimana-mana. Banyak keluarga tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup mereka, jadi mereka pikir menikahkan anak perempuan mereka adalah pilihan terbaik,” ujar Rolee Singh yang terkenal aktif mengkampanyekan “1 Step 2 Stop Child Marriage” di India.

Singh melihat bahwa keluarga menganggap pernikahan anak sebagai solusi masalah keuangan mereka tanpa peduli dampakya terhadap sang anak.

“Kami juga melihat anak-anak menikah karena pihak lain menawarkan uang atau semacam bantuan sebagai imbalan. Keluarga-keluarga ini tidak paham konsep perdagangan anak,” tuturnya.

Seperti yang dialami Muskaan (15), dia mengaku dipaksa ibu dan ayahnya untuk menikahi tetangganya yang berusia berusia 21 tahun.

Ibu dan ayah Muskaan merupakan pembersih jalan di kota Varanasi, India, yang memilki 6 orang anak untuk diberi makan.

“Orang tua saya miskin, apa lagi yang bisa mereka lakukan? Saya berjuang untuk menolaknya tapi pada akhirnya saya harus menyerah,” tutur Muskaan sambil menangis.

Senada dengan Singh, Jha khawatir kebijakan lockdown yang menyebabkan anak-anak tidak bersekolah dan tidak memilki aktivitas akhirnya terjerumus ke perbuatan zina.

“Ketakutan terbesar yang dimiliki keluarga adalah gadis remaja mungkin mejadi dekat dengan anak laki-laki, dan mengeksploitasi kegiatan seksual, dan akhirnya hamil,” jelas Jha.(ng)